Ayah Nikah Mut'ah Dengan Anak Kandungnya Sendiri

Kisah Benar Bapa Nikah Mut'ah Dengan Anak Gadisnya Sendiri | Nikah mut’ah adalah pernikahan tanpa batas yang melanggar aturan-aturan syariat yang suci, mut’ah ini telah melahirkan banyak kisah pilu.

Tidak jarang pernikahan ini menghimpun antara anak dan ibunya, antara seorang wanita dengan saudaranya, dan antara seorang wanita dengan pakciknya, sementara dia tidak menyedarinya.

Di antaranya adalah apa yang dikisahkan Sayyid Husain Al Musawi, seorang tokoh Syi’ah murid Ayatullah Ruhullah Al Khumaini yang kemudian bertaubat dan masuk ke Sunni. Dia menceritakan dalam kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh:

Ayah Nikah Mut'ah Dengan Anak Kandungnya Sendiri
Gambar hiasan.

Kisah Pertama

Seorang perempuan datang kepada saya menanyakan tentang peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Dia menceritakan bahawa seorang tokoh, iaitu Sayyid Husain Shadr  pernah nikah mut’ah dengannya dua puluh tahun yang lalu, lalu dia hamil dari pernikahan tersebut.

“Setelah puas, dia menceraikan saya. Setelah berlalu beberapa waktu saya dikurniakan seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahawa dia hamil dari hasil hubungannya dengan Sayyid Shadr, kerana pada saat itu tidak ada yang nikah mut’ah dengannya kecuali Sayyid Shadr.”

“Setelah anak perempuan saya dewasa, dia menjadi seorang gadis yang cantik dan siap untuk bernikah.”

Namun ibu mendapati bahawa anaknya itu telah hamil. Ketika ditanyakan tentang kehamilannya, dia memberitahu bahawa Sayyid Shadr telah melakukan mut’ah dengannya dan dia hamil akibat mut’ah tersebut. Ibu tercengang dan hilang kawalan dirinya lalu memberitahu kepada anaknya bahawa Sayyid Shadr adalah ayahnya. Lalu dia menceritakan selengkapnya mengenai pernikahannya (ibu si wanita) dengan Sayyid Shadr dan bagaimana boleh hari ini Sayyid Shadr bernikah dengan anaknya dan anak Sayyid Shadr juga?!

Kemudian dia datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut terhadap dirinya dan anak yang lahir darinya.

Sesungguhnya kejadian seperti ini sering terjadi. Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah dengan seorang gadis, yang di kemudian hari diketahui bahawa dia itu adalah saudarinya dari hasil nikah mut’ah. Sebagaimana mereka juga ada yang melakukan nikah mut’ah dengan isteri bapaknya.

Di Iran, kejadian seperti ini tidak terhitung jumlahnya. Kami membandingkan kejadian ini dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak mampu bernikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS. An-Nur:33)

Kalaulah mut’ah dihalalkan, nescaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktu dimudahkan baginya untuk urusan pernikahan, tetapi Dia akan menganjurkan untuk melakukan mut’ah demi memenuhi keperluan biologinya daripada terus-menerus diliputi dan dibakar oleh api syahwat.

Kisah Kedua

Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al Khaui di pejabatnya, tiba-tiba masuk dua orang lelaki menemui kami, mereka memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al Khaui untuk mendapatkan jawapan darinya.

Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Sayyid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?” Imam Al Khaui melihat lagaknya, ia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata kepadanya, “Dimana kamu tinggal?”

Maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, kemudian tinggal di Najaf semenjak sebulan yang lalu.”
Imam berkata kepadanya, “Kalau demikian bererti Anda adalah seorang Sunni?”
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
Imam berkata, “Mut’ah menurut kami adalah halal, tetapi haram menurut kalian.”

Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mut’ah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”

Maka sang imam membeliakkan matanya sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”

Si pemuda menatap Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan pengetahuannya bahawa Al Khaui sedang mengamalkan taqiyah (berbohong untuk membela diri).

Kedua pemuda itu pun berdiri dan pergi. Saya meminta izin kepada Imam Al Khaui untuk keluar. Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahu bahawa mereka yang bertanya adalah seorang Sunni dan sahabatnya adalah seorang Syi’i (pengikut Syiah). Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah, apakah ia halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakan kepada rujukan agama, iaitu Imam Al Khaui.

Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham Syiah memberontak sambil mengatakan,

“Wahai orang-orang derhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami, dan memberitahu bahawa hal itu halal, dan dengan itu kalian mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak perempuan kalian?”

Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah untuk pindah kepada madzhab Ahlus Sunnah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya bersumpah bahawa nikah mut’ah itu haram, kemudian saya menjelaskan tentang dalil-dalilnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post